Biografi Guru Besar STAI Al Anwar Sarang (Dr. KH. Abdul Ghofur Maimun) - NGAJI BARENG

Breaking

Banyak Ilmu Banyak Manfa'at

Senin, 09 Januari 2017

Biografi Guru Besar STAI Al Anwar Sarang (Dr. KH. Abdul Ghofur Maimun)

Mencoba Menkombinasikan Antara Pesantren Dan Kampus

Add caption
Dr. KH. Abdul Ghofur Maimun, adalah sosok kyai muda yang cukup popular di kalangan masyrakat Rembang. Pengasuh pesantren sekaligus ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Anwar ini, dalam beberapa kesempatan juga mengisi ceramah diberbagai wilayah baik untuk kenegaraan ataupun kepesantrenan. Jadi dapat dipastikan banyak kalangan, baik dari civitas academia STAI maupun Staf-staf Negara, kenal baik dengan beliau.
Nilai positif dari figure para kyai, berupa perilaku konkrit dalam kehidupan di lingkungan kelembagaan Al Anwar yang patut dijadikan teladan bagi umat Islam pada umumnya, menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi KH. Abdul Ghofur. Nilai positif itu diantaranya tercemin dari hubungan yang terjalin baik secara kelembagaan, yakni antara STAI dengan pesantren, maupun secara personal yaitu antara kyai, dewan asatidz dan para dosen STAI.
 Mengenai hubungan baik antar kelembagaan STAI dengan pesantren, dapat diketahui melalui pernyataannya ketika ditanya bagaimana pola pikir beliau ketika menghubungkan antara STAI dengan pesantren, dengan
tegas beliau menjawab, “keduanya harus berjalan dengan seimbang, para murid tidak hanya menjadi seorang mahasiswa namun juga menjadi santri”. beliau nampaknya terobsesi dengan model pembelajaran yang diterapkan oleh Imam al-Ghazali. Kemudian beliau menambahkan,
Model seperti ini termasuk system pembelajaran yang cukup ideal, banyak tokoh-tokoh besar baik dari sekte NU, Syiah dan lainnya lahir di pesantren namun juga ikut dalam dunia perkuliahan. Terlebih untuk saat ini, yang dirasa sangat lemah di kampus-kampus berjurusan Islam di Indonesia ialah terkait dengan ilmu-ilmu yang berbahasa Arab, banyak mahsiswanya yang tidak mampu membaca kitab ataupun al-Qur'an. Sehingga tidak mungkin untuk menjadikan pesantren seperti kebanyakan pesantren lainnya begitu pula kampusnya, keduanya harus berjalan bersama-sama.
Sedangkan hubungan baiknya dengan para dosen, tercermin dari kerja sama yang dijalin oleh mereka. Selaku seorang pemimpin di dua lembaga, beliau bukan lah tipe pemimpin yang terlalu otoriter. Dalam beberapa kesempatan, demi meningkatkan kualitas pesantren maupun STAI, KH. Abdul Ghofur  sering kali tidak  mementingkan pendapatnya sendiri, ketika dirasa masukan / usulan dari para dosen tampak lebih baik. Model kepimpinan beliau juga memiliki keunikan tersendiri, beliau lebih terlihat fear dengan siapapun meskipun mereka bawahan atau bahkan santrinya sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang disamapaikan oleh salah satu dosen STAI, Najib Bukhori, Lc, “karekteristik kepemimpinan beliau bersifat egaliter dengan artian tidak berharap santri terlalu dungkluk kepada beliau, sepanjang masih dianggap sopan maka tidak masalah. Dalam memimpin beliau juga tidak terlalu otoriter, pernah ketika saya dan beliau pulang dari Surabaya, jalur yang beliau gunakan untuk menuju rumah teryata di akhirkan demi mempermudah akses saya sampai ke rumah”.
Riwayat Pendidikan KH. Abdul Ghofur Maimun Zubair
Dr. KH. Abdul Ghofur Maimun, yang biasa dipanggil dengan sebutan Gus Ghofur, lahir di Rembang Jawa Tengah pada 16 Maret 1973 dari pasangan KH. Maimun Zubair dan Nyai Hj. Masti’ah. Semasa kecil, Gus Ghofur sudah dikenalkan dengan ilmu-ilmu agama oleh ayahnya, KH. Maimun Zubair. Dalam masa pendidikannya beliau tidak pernah duduk di bangku sekolah dasar ataupun sekolah menengah, Pendidikannya beliau tuntaskan di Madrasah Ghazaliyah Syafi'iyyah (MGS) Sarang Rembang.
Semasa belajar di Ghozaliyah, KH. Abdul Ghofur Maimun  sudah dikenal cerdas dan kritis. Sejak masih duduk di kelas ibtida’ hingga Tsanawi, juara kelas hampir tidak pernah luput dari genggamannya. Menjadi juara kelas tingkat ibtida’ hingga tsanawi nampaknya menjadi dasar atau ukuran bagi santri yang belajar di MGS  dikatakan pintar dan cerdas. Sehingga tidak mengherankan apabila Gus Ghofur saat ini mahir dalam bidang agamanya. Tidak hanya urusan pelajaran, di bidang organisasi pun prestasinya cukup mengkilap. Selama dua periode berturut-turut KH. Abdul Ghofur dipercaya sebagai ketua Demu ( Dewan Murid ) MGS.[1] Hal ini, tentu menjadi sejarah baru dalam kelembagaan MGS, karena dalam sejarahnya belum ada santri menjabat sebagai ketua Demu selama dua periode, pada umumnya hanya satu periode.
Tepat tahun 1992, KH. Abdul Ghofur menyelesaikan pendidikannya di MGS. Pada tahun itu juga beliau mencoba membantu Ayahnya mengajar di pesantren Al Anwar Gus sekaligus memegang kendali keamanan pesantren. Pada tahun berikutnya 1993, beliau melanjutkan studinya di Al-Azhar University, Kairo. Sepertinya hal itu menjadi hal baru dalam tradisi pendidikan putra-putri KH. Maimun.
Selama empat tahun menyelesaikan program S1 Usuhuludin jurusan Tafsir di Al-Azhar, semua ujian dilaluinya dengan nilai Jayīd Jiddan. Begitu pula materi program S2 dijurusan yang sama selama dua tahun juga diselesaikan dengan hasil akhir Jayīd Jiddan. Pada kesempatan selanjutnya, beliau melanjutkan pendidikannya, demi meraih gelar Dr., dengan mengajukan disertasi yang berjudul Hasyiah Al-Syekh Zakaria Al-Anshary Ala Tafsir Al-Baidhawy, Min Awwal Surah Yusuf Ila Akhir Surah l-Sajdah ternyata membuahkan hasil yang mumtaz ma'a martabati syaraf al-‘ula (summa cumlaude) dari Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir.
Sisi Lain Gus Ghofur
Siapa yang mengetahui tips keberhasilan yang dicapai oleh KH. Abdul Ghofur dalam berbagai bidang saat ini, terlebih dalam bidang tulis menulis dan bahasa asing ? padahal sebelumnya beliau sendiri tidak pernah belajar di kelembagaan formal. Nampaknya Najib Bukhori, selaku dosen sekaligus rekannya selama belajar di Kairo mengetahui sedikit tentang hal itu. Najib Bukhori mengatakan,
 Penilaian saya pribadi, terkait dengan keberhasilan Gus Ghofur, dimungkinkan karena beliau termasuk santri atau mahasiswa yang tekun. Dalam beberapa kesempatan ketika saya berkunjung ke flat beliau yang berada tidak jauh dari flat saya, pasti beliau sedang belajar. Satu bulan sebelum berlangsungnya ujian sekolah, beliau telah mempersiapkan materi dengan matang. Contoh lain, proses belajar bahasa asing yang dibimbing oleh mahasisiwa dari pekalongan bernama Syukron. Gus Ghofur memulainya dari nol namun hasil akhirnya melebihi yang mebimbing, Gus Ghofur mendapatkan Mumtaz sedangkan Syukron selaku pebimbing mendapatkan Jayīd Jiddan. Mengenai tulis menulis, beliau juga memulainya dari nol. Saya menduga penyebabnya karena beliau sering menulis, terutama di “Pesantren Vitual.com”. Tidak hanya itu, ketika beliau mempunyai keinginan pasti beliau akan menggelutinya dengan luar biasa, mislanya karena keinginan tahuannya beliau baca dengan habis buku “Pengantar Sosiologi jilid 1 dan 2”.
Melihat apa yang disampaikan Najib Bukhori, sepertinya Gus Ghofur merupakan gambaran seseorang yang tekun, cerdas, memiliki kemauan yang kuat sekaligus orang yang selalu menekankan dalam dirinya slogan para ulama Man jadda wajadda (barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan menemukan).
Tidak hanya tekun, Gus Ghofur juga tergolong orang mencitai kerapian, hal ini dapat dilihat dari pakaian yang dipakai, dan kombinasi susunan kamar yang selalu terlihat rapi. Gus Ghofur juga tipe orang yang disiplin, ketika beliau telah melakukan perjanjian dengan sebuah kelembagaan ataupun personal, Gus ghofur pasti akan datang tepat waktu bahkan datang lebih awal dari waktu yang sudah dijanjikan.
Sekali lagi, tidak hanya dalam pendidikan namun dalam keoragniasasian prestasi Gus Ghofur juga terbilang gemilang. Terdapat beberapa deretan nama organisasi yang pernah beliau duduki, diantaranya yaitu : Ketua DEMU ( Dewan Murid) MGS, koordinator keilmuan Senat Mhasiswa Ushuluddin Al-Azhar Kairo, Wakil Ketua NU Mesir, wakil rais syuri’ah NU Mesir, ketua LBM PWNU Yogyakrta, wakil ketua Ansor bidang keislaman dan kepesantrenan, dan wakil kātib syuri’ah PBNU. 
Meskipun demikian adanya, sebagaimana yang disampaikan Najib Bukhori, Gus Ghofur juga memiliki beberapa hal menarik yang jarang diketahui oleh masyrakat pada umumnya misalnya trafeling dan selera makan. Ketua sekaligus pengasuh pesantren ini ternyata kurang menyukai makanan yang berbau kambing, kecuali apabila dijadikan sate. Najib Bukhori berkata, “ketika saya memberikan pesanan makanan kepada beliau berupa bestek (kambing bakar yang dimasak), beliau menolaknya”.






[1] Semacam organisasi OSIS di sekolah-sekolah formal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar