Mencoba
Menkombinasikan Antara Pesantren Dan Kampus
Add caption |
Dr. KH. Abdul Ghofur Maimun, adalah sosok kyai muda yang
cukup popular di kalangan masyrakat Rembang. Pengasuh pesantren sekaligus ketua
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Anwar ini, dalam beberapa kesempatan juga mengisi
ceramah diberbagai wilayah baik untuk kenegaraan ataupun kepesantrenan. Jadi
dapat dipastikan banyak kalangan, baik dari civitas academia STAI maupun
Staf-staf Negara, kenal baik dengan beliau.
Nilai positif dari figure para kyai, berupa perilaku konkrit
dalam kehidupan di lingkungan kelembagaan Al Anwar yang patut dijadikan teladan
bagi umat Islam pada umumnya, menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi KH.
Abdul Ghofur. Nilai positif itu diantaranya tercemin dari hubungan yang
terjalin baik secara kelembagaan, yakni antara STAI dengan pesantren, maupun
secara personal yaitu antara kyai, dewan asatidz dan para dosen STAI.
Mengenai hubungan baik
antar kelembagaan STAI dengan pesantren, dapat diketahui melalui pernyataannya
ketika ditanya bagaimana pola pikir beliau ketika menghubungkan antara STAI
dengan pesantren, dengan
tegas beliau menjawab, “keduanya harus berjalan dengan
seimbang, para murid tidak hanya menjadi seorang mahasiswa namun juga menjadi
santri”. beliau nampaknya terobsesi dengan model pembelajaran yang diterapkan
oleh Imam al-Ghazali. Kemudian beliau menambahkan,
Model seperti ini termasuk
system pembelajaran yang cukup ideal, banyak tokoh-tokoh besar baik dari sekte
NU, Syiah dan lainnya lahir di pesantren namun juga ikut dalam dunia
perkuliahan. Terlebih untuk saat ini, yang dirasa sangat lemah di kampus-kampus
berjurusan Islam di Indonesia ialah terkait dengan ilmu-ilmu yang berbahasa
Arab, banyak mahsiswanya yang tidak mampu membaca kitab ataupun al-Qur'an. Sehingga
tidak mungkin untuk menjadikan pesantren seperti kebanyakan pesantren lainnya
begitu pula kampusnya, keduanya harus berjalan bersama-sama.
Sedangkan hubungan baiknya dengan
para dosen, tercermin dari kerja sama yang dijalin oleh mereka. Selaku seorang
pemimpin di dua lembaga, beliau bukan lah tipe pemimpin yang terlalu otoriter.
Dalam beberapa kesempatan, demi meningkatkan kualitas pesantren maupun STAI, KH.
Abdul Ghofur sering kali tidak mementingkan pendapatnya sendiri, ketika dirasa
masukan / usulan dari para dosen tampak lebih baik. Model kepimpinan beliau
juga memiliki keunikan tersendiri, beliau lebih terlihat fear dengan siapapun
meskipun mereka bawahan atau bahkan santrinya sendiri. Hal ini sesuai dengan
apa yang disamapaikan oleh salah satu dosen STAI, Najib Bukhori, Lc,
“karekteristik kepemimpinan beliau bersifat egaliter dengan artian tidak
berharap santri terlalu dungkluk kepada beliau, sepanjang masih dianggap
sopan maka tidak masalah. Dalam memimpin beliau juga tidak terlalu otoriter,
pernah ketika saya dan beliau pulang dari Surabaya, jalur yang beliau gunakan
untuk menuju rumah teryata di akhirkan demi mempermudah akses saya sampai ke
rumah”.
Riwayat Pendidikan KH. Abdul Ghofur
Maimun Zubair
Dr. KH. Abdul Ghofur Maimun, yang
biasa dipanggil dengan sebutan Gus Ghofur, lahir di Rembang Jawa Tengah pada 16
Maret 1973 dari pasangan KH. Maimun Zubair dan Nyai Hj. Masti’ah. Semasa kecil,
Gus Ghofur sudah dikenalkan dengan ilmu-ilmu agama oleh ayahnya, KH. Maimun
Zubair. Dalam masa pendidikannya beliau tidak pernah duduk di bangku sekolah
dasar ataupun sekolah menengah, Pendidikannya beliau tuntaskan di Madrasah
Ghazaliyah Syafi'iyyah (MGS) Sarang Rembang.
Semasa belajar di Ghozaliyah, KH.
Abdul Ghofur Maimun sudah dikenal cerdas
dan kritis. Sejak masih duduk di kelas ibtida’ hingga Tsanawi, juara kelas hampir
tidak pernah luput dari genggamannya. Menjadi juara kelas tingkat ibtida’
hingga tsanawi nampaknya menjadi dasar atau ukuran bagi santri yang belajar di MGS
dikatakan pintar dan cerdas. Sehingga
tidak mengherankan apabila Gus Ghofur saat ini mahir dalam bidang agamanya. Tidak
hanya urusan pelajaran, di bidang organisasi pun prestasinya cukup mengkilap.
Selama dua periode berturut-turut KH. Abdul Ghofur dipercaya sebagai ketua Demu
( Dewan Murid ) MGS.[1]
Hal ini, tentu menjadi sejarah baru dalam kelembagaan MGS, karena dalam
sejarahnya belum ada santri menjabat sebagai ketua Demu selama dua periode,
pada umumnya hanya satu periode.
Tepat tahun 1992, KH. Abdul Ghofur menyelesaikan
pendidikannya di MGS. Pada tahun itu juga beliau mencoba membantu Ayahnya
mengajar di pesantren Al Anwar Gus sekaligus memegang kendali keamanan
pesantren. Pada tahun berikutnya 1993, beliau melanjutkan studinya di Al-Azhar
University, Kairo. Sepertinya hal itu menjadi hal baru dalam tradisi pendidikan
putra-putri KH. Maimun.
Selama empat tahun menyelesaikan program S1 Usuhuludin
jurusan Tafsir di Al-Azhar, semua ujian dilaluinya dengan nilai Jayīd Jiddan. Begitu
pula materi program S2 dijurusan yang sama selama dua tahun juga diselesaikan
dengan hasil akhir Jayīd
Jiddan. Pada kesempatan selanjutnya, beliau melanjutkan pendidikannya, demi
meraih gelar Dr., dengan mengajukan disertasi yang berjudul Hasyiah Al-Syekh
Zakaria Al-Anshary Ala Tafsir Al-Baidhawy, Min Awwal Surah Yusuf Ila Akhir
Surah l-Sajdah ternyata membuahkan hasil yang mumtaz ma'a martabati
syaraf al-‘ula (summa cumlaude) dari Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir.
Sisi Lain Gus Ghofur
Siapa yang mengetahui tips
keberhasilan yang dicapai oleh KH. Abdul Ghofur dalam berbagai bidang saat ini,
terlebih dalam bidang tulis menulis dan bahasa asing ? padahal sebelumnya beliau
sendiri tidak pernah belajar di kelembagaan formal. Nampaknya Najib Bukhori,
selaku dosen sekaligus rekannya selama belajar di Kairo mengetahui sedikit
tentang hal itu. Najib Bukhori mengatakan,
Penilaian saya pribadi, terkait dengan
keberhasilan Gus Ghofur, dimungkinkan karena beliau termasuk santri atau
mahasiswa yang tekun. Dalam beberapa kesempatan ketika saya berkunjung ke flat
beliau yang berada tidak jauh dari flat saya, pasti beliau sedang belajar. Satu
bulan sebelum berlangsungnya ujian sekolah, beliau telah mempersiapkan materi
dengan matang. Contoh lain, proses belajar bahasa asing yang dibimbing oleh
mahasisiwa dari pekalongan bernama Syukron. Gus Ghofur memulainya dari nol
namun hasil akhirnya melebihi yang mebimbing, Gus Ghofur mendapatkan Mumtaz
sedangkan Syukron selaku pebimbing mendapatkan Jayīd Jiddan. Mengenai tulis menulis, beliau
juga memulainya dari nol. Saya menduga penyebabnya karena beliau sering
menulis, terutama di “Pesantren Vitual.com”. Tidak hanya itu, ketika beliau
mempunyai keinginan pasti beliau akan menggelutinya dengan luar biasa, mislanya
karena keinginan tahuannya beliau baca dengan habis buku “Pengantar Sosiologi
jilid 1 dan 2”.
Melihat apa yang disampaikan Najib
Bukhori, sepertinya Gus Ghofur merupakan gambaran seseorang yang tekun, cerdas,
memiliki kemauan yang kuat sekaligus orang yang selalu menekankan dalam dirinya
slogan para ulama Man jadda wajadda (barang siapa yang
bersungguh-sungguh pasti akan menemukan).
Tidak hanya tekun, Gus Ghofur juga
tergolong orang mencitai kerapian, hal ini dapat dilihat dari pakaian yang
dipakai, dan kombinasi susunan kamar yang selalu terlihat rapi. Gus Ghofur juga
tipe orang yang disiplin, ketika beliau telah melakukan perjanjian dengan
sebuah kelembagaan ataupun personal, Gus ghofur pasti akan datang tepat waktu
bahkan datang lebih awal dari waktu yang sudah dijanjikan.
Sekali lagi, tidak hanya dalam
pendidikan namun dalam keoragniasasian prestasi Gus Ghofur juga terbilang
gemilang. Terdapat beberapa deretan nama organisasi yang pernah beliau duduki,
diantaranya yaitu : Ketua DEMU ( Dewan Murid) MGS, koordinator keilmuan Senat
Mhasiswa Ushuluddin Al-Azhar Kairo, Wakil Ketua NU Mesir, wakil rais syuri’ah
NU Mesir, ketua LBM PWNU Yogyakrta, wakil ketua Ansor bidang keislaman dan
kepesantrenan, dan wakil kātib
syuri’ah PBNU.
Meskipun demikian adanya,
sebagaimana yang disampaikan Najib Bukhori, Gus Ghofur juga memiliki beberapa hal
menarik yang jarang diketahui oleh masyrakat pada umumnya misalnya trafeling
dan selera makan. Ketua sekaligus pengasuh pesantren ini ternyata kurang
menyukai makanan yang berbau kambing, kecuali apabila dijadikan sate. Najib
Bukhori berkata, “ketika saya memberikan pesanan makanan kepada beliau berupa bestek
(kambing bakar yang dimasak), beliau menolaknya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar