Oleh: Isdaryanto Al-Chasan, Pemuda NU Cilacap
Saya ingin mengajak Anda untuk
membongkar misteri cinta, tapi akan saya awali dulu dengan sebuah kisah
pengalaman saya;...kira-kira waktu itu tahun 2010-an, ketika diri saya dalam
kondisi ambiguitas/ketidakpastian; saat mengalami hidup terasa
terombang-ambing, saya memberanikan diri untuk sowan dan meminta nasehat kepada
seorang Kiyai yang saya rasa cocok, saya sowan kepada K.H. Sa’idun Al-Hafidz yang
beralamat di sebelah timur Pondok Pesantren AI-Ihya’ulumaddin Kesugiahan yang
tepatnya rumah beliau di Dusun Platar, Desa Kesugihan Kidul, Kabupaten Cilacap.
Ketika sowan, saya curhat kepada beliau:“...nyuwun pangapunten Abaeh Fia, Abaeh Fia kan
ngertos uripe kulo awit alit, kulo seniki saweg ngraos dereng saget urip leres
lan sae...menurut Abaeh Fia kulo ken kedah pripun njih? Sembari
senyum penuh ketenangan dan kharisma beliau yang berwibawa, beliau menjawab ; “ ...njenengan kan saring mireng lan kadose
sering ugi maos do’a lan lafal niki ‘rodlitubillahirobbaa wabil
islamidinaa wabi muhammadinnabiyyauwarasulaa’ ingkang pengertosanipun
kinten-kinten kito kedah ridlo dipun pengerani deneng Gusti Allah lan ridlo
kalian sedoyo takdiripun (Gusti Allah), nopo mawon ingkang tinakdir saking
Gusti Allah mesti ingkang paling sae lan mesti wonten hikmaeh kangge kito,
serto kito kedah ridlo gadah Nabi Muhammad kangge tulada, lan ridlo gadah agama
Islam kanti sedoyo ajaranipun...) ” Arti fersi bahasa Indonesia-nya: ”...mohon maaf
Ayahnya Fia (saya
menyapa beliau dengan demikian karena beliau memiliki putri dengan sapaan Fia,
sebagai sapaan ta’dzim sekaligus keakraban)... Ayahnya Fia kan tahu hidup saya semenjak
dari saya kecil, saya sekarang ini sedang merasa belum bisa hidup (secara)
benar dan baik...menurut Ayahnya Fia saya harus bagaimana ya? Sembari senyum penuh ketenangan
dan karisma beliau yang berwibawa, beliau menjawab: “...Anda kan sering mendengar dan kayaknya
sering membaca (melafalkan) doa ini‘rodlitubillahirobbaa wabil islamidinaa
wabi muhammadinnabiyyauwarasulaa’ pengertian yang terkandung
didalamnya kira-kira; kita harus ridlo dituhani oleh Allah dan ridlo dengan
segala yang ditakdirkan Allah, apapun yang ditakdirkan Allah pasti yang terbaik
dan pasti ada hikmahnya bagi kita, serta kita harus ridlo punya Nabi Muhammad
sebagai tauladan, dan ridlo punya agama Islam dengan segala ajarannya...”
Dari mulai saat itu sampai
serkarang dan bahkan mungkin sampai kapanpun nasehat K.H. Sa’idun Al-Hafidz tersebut
akan menjadi pegangan bagi saya walaupun intepretasi/penjabaran tehadap nasehat
tersebut akan selalu saya sesuaikan dengan perkembangan pemahanan dan konteks
(kondisi dan situasi) yang saya alami. Mengenai pembahasan kita soal cinta,
tentu saya juga berniat merelevansikan/meneyesuaikan dengan nasehat tersebut,
bahwa apa yang sudah ditakdirkan-Nya pasti yang terbaik dan pasti ada
hikmahnya.
Allah SWT telah berfirman dalam
sebuah hadits Qudsi yang kira-kira artinya : “Kalau
bukan karena rasa cinta-Ku padamu (Muhammad) maka tidak akan Aku ciptakan dunia
seisinya.” Intepretasi/penjabaran saya terhadap Firman
Allah tersebut bahwa cinta adalah sebuah motivasi yang fungsional (bersifat
betul-betul memiliki fungsi) dalam penciptaan sekaligus menyertai penciptaan
dunia seisinya.
Cinta tidak perlu dianggap
sebagai hal yang eksklusif (bersifat khusus dan mahal) yang seolah-olah hanya
berhak diklaim oleh kelompok tertentu atau orang tertentu, karena cinta
sebenarnya sangat inklusif (bersifat umum dan bagi siapapun bahkan apapun), cinta
bukanlah hal yang harus dirasa saat khusus atau tertentu juga. Cinta hadir di
setiap kehendak-Nya dalam mencipta, artinnya cinta ada di setiap hal dan setiap
saat. Cinta adalah tendensius (mengisi/berada di dalam) dan fundamental
(mendasari/pondasi)pada segala sesuatu, setiap saat, di manapun dalam situasi
apapun, kondisi apapun dan bagaimanapun.
Di sini sama sekali saya tidak
bermaksud meremehkan cinta, akan tetapi justru mencoba mengungkap peranan
penting dan mulianya cinta. Yang perlu kita sadari bahwa dalam hidup dan
kehidupan ini jika peranan cinta semakin diungkap maka akan semakin kentara
betapa banyak dan lengkapnya, karena memang peranan cinta sebanyak dan
selengkap ciptaan-Nya. Cinta dicipta untuk memberikan dirinya kepada segalanya
tanpa pamrih apapun kecuali mengharap dirinya (cinta) sendiri.
Cinta memang soal rasa,
keberadaannya hanya dapat dijamah dengan rasa. Cinta ada bagi orang yang
memiliki rasa ‘mencintai’, cinta dapat dirasa/terasa bagi yang
‘mencintai’. Bahwa jika semakin ‘mencintai’ maka semakin besar terasa
cinta itu, dan jika semakin banyak ‘mencintai’ maka semakin terasa banyak
peranan cinta itu. Mencintai adalah memenuhi keinginan/pamrih cinta itu
sendiri, sehingga kenyataan tentang adanya cinta di segala hal terungkap dengan
sendirinya. Mencintai adalah merasakan kehadiran dan peranan cinta. Mencintai
agar mendapat efek merasakan cinta, sehingga kita mau tidak mau harus sepakat
tentang sebuah ungkapan “ Cintailah cinta.” Mencintai di sini memiliki berbagi
ragam bentuk; berpasangka baik, memaafkan, menghormati, menyayangi, peduli,
berterima kasih, bersyukur, dan sebagainya yang bisa kita simpulkan secara
sederhana mencintai adalah suatu rasa yang baik-baik.
Kali ini pertaannya apakah kita
mencintai? Apakah kita terbiasa mencintai? Kalaupun belum menjadi kebiasaan,
bisakah kita untuk membiasakan mencintai? Bagaimana jika kita memang sulit
untuk menciptakan kebiasaan mencitai? Pertanyaan yang lebih menohok dan sangat
menuntut kejujuran kita adalah seberapa dominankah kita mencintai? Jangan-jangan
kita selama ini terbelenggu dengan ‘mencintai’ pada sesuatu yang khusus saja,
di waktu khusus saja, di tempat khusus saja, serta di kondisi dan situasi
khusus saja? Bagaimana mungkin hal itu bisa dikatakan bisa mengembalikan cinta
pada fitrahnya -cinta ada di semuanya dan hanya bisa dilayani keinginannya
dengan ‘mencintai’ saja- sehingga cinta nyaman menemui kita? Bukankah sudah
jelas dan berkali-kali ditegaskan bahwa cinta hanya menginginkan dirinya
sendiri? Anda ingin cinta? ‘Mencintailah’ maka kehadiran dan keberadaan cinta
pastiKau rasa? Bila “mencintai” dijadikan kebisaan yang dominan lalu bagaimana
dengan membenci; buruk sangka, menilai buruk,mendengki, medendam, memfitnah,
tidak bersyukur, tidak berterimakasih, atau rupa-rupa buruk kebencian lain? Ya
tergantung Anda yang mau menentukan pilihan; apakah mau memilih ‘mencintai’
atau ‘membenci’? Yang mana yang bisa membuat Anda bahagia?
Punya minat apa tidak nich untuk
‘mencintai’? Kalau memang berminat ya mari dimulai dari diri sendiri untuk menerima
diri sendiri apa adanya; menerima kelebihan dan kekurangan diri sendiri, memaafkan diri sendiri atas
semua kesalahan yang pernah kita lakukan baik sengaja maupun tidak disengaja, mencintai diri sendiri tanpa
mengajukan syarat apapun, dan perlu selalu diingat bahwa semua itu harus dengan
tulus. Kalau tidak mau tulus pada diri sendiri si maunya bagaimana? Masa diri
sendiri mau dimodusin? Hehe... Tentu jangan lupa juga niati untuk ibadah
karena-Nya semata serta syukuri setiap proses yang dapat kita jalani.
Ada sebuah konsep dalam dunia
Tasawwuf yaitu Takhalli, Tahalli, dan Tajalli.
DimanaTakhalli adalah upaya membuang (kebiasaan,
akhlak) yang buruk-buruk, Tahalli adalah upaya mengisi dengan
(kebiasaan, akhlak) yang baik-baik, sedangkan Tajalli adalah (maka akan) tampak
kemumarah/karomah Allah SWT pada diri manusia jika setelah sukses ber-takhalli dan ber-tahalli tersebut. Singkatnya begini sajalah
ya, untuk mendasari kita dalam upaya membangun kebiasaan “mencintai” jika
menggunakan konsep tasawuf ini ialah:Takhalli-nya adalah kita harus
membuang benci dengan berbagai ragam bentuknya dari hati kita,Tahalli-nya
adalah kita harus memasukkan cinta dengan berbagai ragam bentuknya ke dalam
hati kita, lah setelah kita bisa sukses melaksanakan takhalli dan tahalli-nya
baru kita bisa mendapatkan Tajalli-Nya, yaitu berupa (maka akan) tampak
kemurahan/karomah berupa kebahagiaan; ketenangan dan kedamaian, keceriaan, rasa
syukur yang istiqomah/kontinu atau bahkan sampai rasa syukurnya berkobar-kobar
dan lain sebagainya yang dapat disimpulkan secara sederhana bahwa berupa
berbagai kemuliaan akan nampak. Maka dari itu supaya kita bisa merasakan hadir
dan adanya cinta secara menyeluruh atau katakanlah optimal ya harus menjadikan
cinta mendominasi hati kita dan merasakan sepenuh hati dalam “mencintai” diri
tanpa syarat apapun.
Kita hidup didunia ini akan bisa
lepas dari Hablumminallah (berinteraksi dengan Allah), hablumminannas
(berinteraksi dengan sesama manusia), dan hablumminal’alam (berinteraksi dengan
alam) maka mari kita mencoba beranjak menuju pada tahapan pembahasan cinta yang
kaitannya dengan tiga interaksi tersebut.
Dalam kaitannya dengan
Hablumminallah, saya percaya bahwa kesadaran yang hakiki adalah ingat/dzikir
kepada Allah SWT, tingkat tinggi-tingginya kadar akal akan mencapai posisi
puncaknya yaitu ketertundukan pada Sang Haq. Maka pada pencapaian puncak hati
dan pikiran manusia memang akan semakin membuktikan ketergantungannya pada
Allah SWT, sehingga sesuai arti istilahi Islam dalam kacamata para ‘Arif billah;
bahwa Islam adalah totalitas pasrah kepada Allah SWT.
Saya juga tak akan menyangkal
bahwa seperti Sabda Nabi Muhammad Saw yang kira-kira artinya; “Kebenaran adalah apa yang hatimu cocok
walaupun jutaan orang berfatwa.”Bahwa kebenaran merupakan urusan kecocokan
hati manusia, yang memang setiap orang dikaruniai-Nya ilham sehingga memiliki
kecocokan terhadap suatu kebenaran dan setiap orang memiliki perspektif/sudut
pandang masing-masing terhadap sesuatu untuk ia nilai benar atau tidaknya. Tapi
coba kita amati tentang cinta, ia merupakan sesuatu yang amat universal, siapa
saja dan agama apa saja mengakui kebenaran cinta, bahkan dalam ajaran agama
cinta selalu menempati posisi penting. Ternyata segala kebaiakan dalam ajaranan
agama dapat diwujudkan jika didasari cinta yang tulus oleh penganut
sekaligus pengamal agama tersebut, karena diibaratkan koin mata uang logam jika
cinta tulus adalah salah satu rupa koin mata uang logam maka kebaikan merupakan
salah satu rupa koin mata uang logam yang sebaliknya.
Salah satu firman Allah SWT yang
artinya kira-kira: “Siapakah yang lebih baik perkataannya dari
pada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata:
’Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’ Dan tidaklah sama
kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik,
maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan
seolah-olah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar,” (Q.S.Fusshilat,[41]:33-35)
Dalam tahapan upaya meraih
kemampuan ‘mencintai’ manusia dituntun-Nya dengan sifat kebaikan dan
hanya orang yang sabar dalam Takhalli-nya yaitu berupaya menolak kejahatan
dengan cara lebih baik, dan Tahalli; melalui kesabarannya
menyerah diri/totalitas pasrah; menyeru kepada Allah dan berbuat amal saleh
(yang totalitas pasrah ini hanya mampu dilakukan dengan kekuatan ‘mencintai’
sepenuh hati dan tulus), dan kemudiaan anugerah Tajalli-Nya; sehingga orang sabar
itulah yang dianugerahi sifat-sifat baik yang mana sifat-sifat baik tersebut
memang sangat berharga maka yang dianugerahi-Nya sifat kebaikan itupun
merupakan karunia bagi manusia yang amat beruntung. Di sini saya kembali
menegaskan bahwa ‘mencintai’ merupakan kekuatan pembangun untuk mewujudkan
sifat baik pada diri manusia dan ‘membenci’ merupakan kekuatan perusak yang
menimbulkan kejahatan masuk pada diri manusia. Mencintai diri sendiri tanpa
syarat menjadikan manusia mampu mengenali dirinya sendiri, sedangkan kita tahu
bahwa dalam konsep tasawwuf yang namanya mengenali diri sendiri menjadi syarat
mutlak untuk bisa mengenali Allah Sang Maha Indah. Jika mencintai diri sendiri
tanpa syarat merupakan kekutan pribadi manusia sebagai akar kesadaran akan
pentingnya membangun diri dengan sifat kebaikan maka interaksi dengan Allah
SWT, membuat manusia akan mendapatkan tuntunan-Nya agar dapat meraih sifat baik
yang sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Mau apa tidak nih berupaya meraih
prestasi ‘mencintai diri sendiri tanpa syarat dan tulus karena-Nya’?
Sehingga dapat mengenali diri sendiri agar kita memiliki syarat mutlak untuk
mengenali Sang Maha Indah, dan dengan kita bisa demikian menjadikan kita tahu
cara yang paling tepat yang disukai-Nya untuk kita mendekat pada-Nya. Ya
mulailah ‘mencintai’ semuanya.
Soal ketulusan memang sesuatu
yang membutuhakan banyak dan lengkapnya pengetahuan serta besarnya pengorbanan
dari pelaku nilai ketulusan tersebut, seperti sebuah syair Ibnu Athaillah yang sering
digubah oleh Gus Dur dalam membahas
ketulusan perjuangan:
Idfin(Sembunyikan)
Sembunyikan wujudmu
Pada tanah yang tak dikenal
Sebab sesuatu yang tumbuh
Dari biji yang tak ditanam
Tak berbuah sempurna
Di sini saya membebaskan pembaca
untuk berpikir bebas dalam menafsiri syair di atas.Tergantung ketulusan
masing-masing saja ya biar tidak ribut pendapat? Hehe. Yang terakhir tentang
hal ini dan penting bahwa dalam segala hal dasari dengan keniatan ibadah,
menjaga kiblat batin kita tetap menuju-Nya, selalu memohon ampun akan kesalahan
dan kehilafan dan bersyukur atas segala karunia-Nya (termasuk apapun nikmat
yang berupa hasil upaya yang telah dilakukan).
Hablumminannas (interaksi sesama
manusia) dalam soal cinta si gimana ya? Sudah menjadi kecenderungan insan
berketuhanan untuk meraih peringkat prestasi terbaik di hadapan Tuhannya,
karena semua amal perbuatan manusia merupakan sarana untuk dapat diterinma-Nya
dan bahkan dapat menjadi sarana mendekat (taqorruban ilallah) dengan-Nya dan
tentunya dekat dengan-Nya merupakan prestasi istimewa sebagai seorang manusia.
Akan tetapi apakah kepentingan meraih semua prestasi penting tersebut dapat
diwujudkan oleh manusia cukup dengan keegoisan? Karena ingin menjadi yang
terbaik; egois beribadah yang kepentingannya untuk dirinya kepada Tuhannya
(‘ubidiyah),egois dengan tidak
mementingkan keibadahan yang berkaitan dengan berbuat baik kepada sesama
manusia (mu’amalah)? Ternyata tidak dengan egois, justru mereka yang menjadi
para pendahulu pelaku ‘seni beribadah’ yaitu ‘ahli tasawwuf’ yang merasai
kehidupan dengan bergelimang rasa “mencintai”memiliki pendapat seperti yang
disarankan salah satu ‘Arif billah Abi
Sa’id Ibn al-Khair:“Tidak ada jalan yang terpendek, terbaik, dan
tercepat menuju (mendekat) Dia, selain memberi rasa nyaman pada orang lain.”
Kita tidak bisa mengelak bahwa tidak lain dan tidak bukan
jika rasa ‘mencintai-lah’ yang dapat memberikan kanyamanan kepada orang lain,
bukan?
Jika melihat negasi/kebalikan
dari cinta yaitu kebencian yang menjadi faktor aniaya dan perilaku memutus tali
silaturrohmi, kita bisa mengambil pemahaman dan nasehat dari sabda Rasulullah
Saw,: “Tidak
ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan oleh Allah siksaannya bagi pelakunya
di dunia dan disimpan sisanya di akhirat dari pada aniaya dan memutus
silaturrahim.”Artinya berperilaku yang didasari rasa kebencian
adalah hal yang berakibat fatal bagi pelakunya karena siksanya di dunia maupun
diakhirat. Waspadalah...waspadalah...!
Kira-kira sebatas apa kita untuk
‘mencintai’ dalam interaksi sesama manusia? Menjawab pertanyaan tersebut coba
kita baca syair di bawah ini:
Tarjuman al-Asywaq; Senandung Kerinduan
Kemarin aku tak bersahabat
Bila keyakinannya tak sama
keyakinanku
Kini jiwaku siap menyambut
Segala fenomena semesta
Padang rumput bagi kawanan rusa
Kuil-kuil bagi para Rahib
Rumah berhala-berhala
Ka’bah orang yang mengelilingi
Lempengan-lempengan Taurat
Lembaran-lembaran suci Al-Qur’an
O, Akulah penganut agama Cinta
Kemanapun gerobag pembawa Cinta
bergerak
Aku mengejarnya
Aku pemabuk Cinta-(Mu)
(Ibnu Arobi)
Syair di atas menurut penafsiran
saya adalah ungkapan kesadaran tentang kebenaran cinta yang ada di semua ajaran
agama, dan kebenaran cinta dalam segala fenomena alam semesta, maka ‘mencintai’
memang harus kepada siapapun tanpa memandang apa setatus agamanya, sukunya apa,
dan tanpa memandang perbedaan apapun yang lain. Artinya ‘mencintai tanpa
pandang bulu’. Karena memang siapapun dan apapun hakikatnya berhak dicintai.
Dalam hablumminal’alam (interaksi
dengan alam) adalah alam dengan segenap fenomenanya, yang mana diakui atau
tidak diakui bahwa kebanyakan dari kita sering memangdangnya sebelah mata.
Apalagi mau pake hati atau jiwa, pake mata saja cuma sebelah? Hehe. Padahal Imam Al-Ghazali (dalam
dunia keilmuan Barat beliau dikenal dengan nama AL-Gazzel) menyarankan umat
Islam untuk memfungsikan hatinya secara maksimal karena intuisi/perasaan (hati
atau jiwa) menurut beliau adalah sarana penting meraih kebenaran hakiki yang
paling manusia cari. Sebuah sindirin dari beliau tentang jiwa dalam menyikapi
alam dan fenomenanya adalah: “Orang
yang jiwanya tak tergerak oleh semilir angin, bunga-bunga, dan suara seruling
musim semi, adalah dia yang kehilangan jiwanya yang sulit terobati.”
Bagaimana, apakah Anda kesindir
nich? Saya juga...hehe. Ya memang demikian adanya, kita memang harus memulai
menggunakan rasa ‘mencintai’ untuk menjamah semuanya termasuk alam dan
fenomenanya. Agar lebih memantaptapkan kita di bawah ini saya tambahkan syair
dari Ibnu
Ajibah;
Lihatlah Keindahan-Ku
Tampak pada semua manusia
Air mengalir,
Menembus
Pokok dahan dan ranting
Engkau mendapatinya
Berasal dari satu mata air
Padahal bunga berwarna-warni
Lalu bagaimana membumikan cinta
dalam realitas/kenyataan hari ini? Lalu kenapa sih kok harus hari ini?
Begini sahabat, karena hari ini atau lebih tepatnya saat ini adalah saat paling
tepat ‘Mencintai cinta’, bukan kemarin atau bukan masa yang telah lalu, atau
bukan juga besok atau bukan masa yang akan datang. Sekali lagi saya tegaskan
bahwa waktu yang tepat ‘mencintai’ adalah saat ini. Maka jika pembahasan kita
yang sebelum-sebelumnya dapat betul-betul dihayati tentunya akan mebentuk
afektif (valui; nilai), kognitif (kecerdasan, intelektual) dan psikomotorik
(mental dan tekad bergerak) untuk merubah gerak hati, pemikiran, dan fisik kita
pada hal-hal yang diisi dengan rasa ‘mencintai’ ini. Tentu proses ini tidak
perlu mengganggu rutinitas yang telah ada, kita justru tinggal mengisi setiap
aktifitas yang kita miliki dengan rasa ‘mencintai’ sehingga mulai saat ini
semua kesan hidup dan kehidupan kita didominasi oleh kesan indah yang
disebabkan efek ’mencintai’ yang kita miliki.
Saya memulai pada setiap
kesempatan tenang untuk merenung; untuk selalu memaafkan semua
kesalahan-kesalahan diri sendiri; baik kesalahan disengaja maupun tidak
disengaja, menerima apapun keadaan diri sendiri; kekurangan dan kelebihanku,
mensyukuri semua nikmat yang dikaruniai-Nya, ketika bercermin saya melihat mata
saya sendiri dan berkata ‘aku mencintaimu tanpa syarat’, aku memaafkan semua
dari kesalahan orang-orang terdekatku; Bapakku, Simbok/Ibuku, kakakku, adikku,
saudaraku, sahabatku, temanku, kenalanku, sampai semua orang yang memusuhiku;
yang buruk sangka, dengki, dendam, memfitnah atau apapun keniatan perbuatan
buruk mereka baik mereka sengaja maupun tidak semua aku maafkan setulus hati,
aku mencintai sesama dan alam beserta fenomenanya tulus tanpa harus berbalas,
dalam setiap doa ritual-ritual keagamaan pribadi saya dengan rasa penuh rendah
hati atas keterbatasan diri berdoa:
Ya Allah karuniai aku daya
kekuatan luar biasa serta nur (cahaya) dan mahabbah (cinta) yang luar biasa
pada seluruh lahir dan batinku,
agar aku mampu selalu bertaubat,
agar aku mampu selalu memperbaiki
diri dalam urusan ‘ubudiyah maupun urusan mu’ammalahku,
serta agar aku dapat selalu
bersyukur akan segala nikmat-Mu,
Ya Allah karuniai aku daya
kekuatan luar biasa dan nur serta mahabbah luar biasa pada seluruh lahir dan
batinku,
Agar aku dapat mewujdudkan rasa
‘mencintai’ yang tulus dan ikhlas karena Engkau semata,
Agar aku dapat mewujudkan
cita-citaku, mewujudkan harapanku, dan mewujudkan mimpi besarku dalam urusan
dunia dan akhiratku Ya Allah. Amin
Saat mau tidur saya selalu
mengupayakan untuk berkata pada diri sendiri dengan sepenuh hati:“aku
bahagia, penuh kedamaian, penuh katenangan, selalu mencintai diri sendiri tanpa
syarat, selalu mencintai sesama dan alam dengan segala fenomenanya dengan
tulus, aku ‘mencintai’ tanpa menuntut berbalas, hari besok aku bangun penuh
kebaiakan, aku beryukur atas segala karunia-Mu.” Dan bisa
ditambah sesuka hati dengan ucapan yang paling baik yang perlu diucapkan,
...lalu membaca doa tidur... trus tidur dengan tenang dech, hehe.
Saat bangun tidur setelah membaca
doa bangun tidur, saya upayakan selalu berbicara pada diri sendiri sepenuh
hati:“Hari
ini penuh kebaikan bagiku, aku meraih hikmah dengan manfaat yang besar, aku
bersyukur atas segala nikmat karunia-Mu” Dan tentu boleh
ditambah dengan ucapan terbaik dan terindah yang kita mau.
Di dalam setiap aktivitas dan
dalam kondisi dan situasi apapun agar mampu untuk selalu ‘mencintai’ dengan
tulus, hal itu berarti ‘mencintai cinta’ yang memang cinta selalu hadir dan ada
di segala sesuatu dan tidak pernah absen Bro..., dan ‘mencintai’ merupakan
perasaan tulus untuk mengakui dan menghargai peranan cinta sehingga yang
demikian menyebabkan kita hidup dalam ke-berlimpahruahan kemurahan cinta. Maka
‘Cintailah cinta’ sebagaimana fitrah cinta yang memberi segalanya dan hanya mengharap
dirinya (cinta) sendiri. Supaya cinta terpenuhi harapanya ya balas cinta dengan
dirinya sendiri dengan ‘mencintai’ mulai saat ini dan sampai kapanpun, dimulai
dari mencintai kepada diri sendiri sampai kepada siapapun dan apapapun,
mencintai mulai dari sini sampai di manapun, mencintai mulai dari kondisi dan
situasi seperti ini sampai kondisi dan situasi seperti apapun, dan seterusnya
semampu jangkauan masing-masing. Hasil maqosidanaa. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar