Cintailah Cinta - NGAJI BARENG

Breaking

Banyak Ilmu Banyak Manfa'at

Selasa, 10 Januari 2017

Cintailah Cinta


Oleh: Isdaryanto Al-Chasan, Pemuda NU Cilacap

Saya ingin mengajak Anda untuk membongkar misteri cinta, tapi akan saya awali dulu dengan sebuah kisah pengalaman saya;...kira-kira waktu itu tahun 2010-an, ketika diri saya dalam kondisi ambiguitas/ketidakpastian; saat mengalami hidup terasa terombang-ambing, saya memberanikan diri untuk sowan dan meminta nasehat kepada seorang Kiyai yang saya rasa cocok, saya sowan kepada K.H. Sa’idun Al-Hafidz yang beralamat di sebelah timur Pondok Pesantren AI-Ihya’ulumaddin Kesugiahan yang tepatnya rumah beliau di Dusun Platar, Desa Kesugihan Kidul, Kabupaten Cilacap. Ketika sowan, saya curhat kepada beliau:“...nyuwun pangapunten Abaeh Fia, Abaeh Fia kan ngertos uripe kulo awit alit, kulo seniki saweg ngraos dereng saget urip leres lan sae...menurut Abaeh Fia kulo ken kedah pripun njih? Sembari senyum penuh ketenangan dan kharisma beliau yang berwibawa, beliau menjawab ; “ ...njenengan kan saring mireng lan kadose sering ugi maos do’a lan lafal niki ‘rodlitubillahirobbaa wabil islamidinaa wabi muhammadinnabiyyauwarasulaa’ ingkang pengertosanipun kinten-kinten kito kedah ridlo dipun pengerani deneng Gusti Allah lan ridlo kalian sedoyo takdiripun (Gusti Allah), nopo mawon ingkang tinakdir saking Gusti Allah mesti ingkang paling sae lan mesti wonten hikmaeh kangge kito, serto kito kedah ridlo gadah Nabi Muhammad kangge tulada, lan ridlo gadah agama Islam kanti sedoyo ajaranipun...) ” Arti fersi bahasa Indonesia-nya: ”...mohon maaf Ayahnya Fia (saya menyapa beliau dengan demikian karena beliau memiliki putri dengan sapaan Fia, sebagai sapaan ta’dzim sekaligus keakraban)... Ayahnya Fia kan  tahu hidup saya semenjak dari saya kecil, saya sekarang ini sedang merasa belum bisa hidup (secara) benar dan baik...menurut Ayahnya Fia saya harus bagaimana ya?  Sembari senyum penuh ketenangan dan karisma beliau yang berwibawa, beliau menjawab: “...Anda kan sering mendengar dan kayaknya sering membaca (melafalkan) doa ini‘rodlitubillahirobbaa wabil islamidinaa wabi muhammadinnabiyyauwarasulaa’ pengertian yang terkandung didalamnya kira-kira; kita harus ridlo dituhani oleh Allah dan ridlo dengan segala yang ditakdirkan Allah, apapun yang ditakdirkan Allah pasti yang terbaik dan pasti ada hikmahnya bagi kita, serta kita harus ridlo punya Nabi Muhammad sebagai tauladan, dan ridlo punya agama Islam dengan segala ajarannya...”
Dari mulai saat itu sampai serkarang dan bahkan mungkin sampai kapanpun nasehat K.H. Sa’idun Al-Hafidz tersebut akan menjadi pegangan bagi saya walaupun intepretasi/penjabaran tehadap nasehat tersebut akan selalu saya sesuaikan dengan perkembangan pemahanan dan konteks (kondisi dan situasi) yang saya alami. Mengenai pembahasan kita soal cinta, tentu saya juga berniat merelevansikan/meneyesuaikan dengan nasehat tersebut, bahwa apa yang sudah ditakdirkan-Nya pasti yang terbaik dan pasti ada hikmahnya.
Allah SWT telah berfirman dalam sebuah hadits Qudsi yang kira-kira artinya : “Kalau bukan karena rasa cinta-Ku padamu (Muhammad) maka tidak akan Aku ciptakan dunia seisinya.” Intepretasi/penjabaran saya terhadap Firman Allah tersebut bahwa cinta adalah sebuah motivasi yang fungsional (bersifat betul-betul memiliki fungsi) dalam penciptaan sekaligus menyertai penciptaan dunia seisinya.
Cinta tidak perlu dianggap sebagai hal yang eksklusif (bersifat khusus dan mahal) yang seolah-olah hanya berhak diklaim oleh kelompok tertentu atau orang tertentu, karena cinta sebenarnya sangat inklusif (bersifat umum dan bagi siapapun bahkan apapun), cinta bukanlah hal yang harus dirasa saat khusus atau tertentu juga. Cinta hadir di setiap kehendak-Nya dalam mencipta, artinnya cinta ada di setiap hal dan setiap saat. Cinta adalah tendensius (mengisi/berada di dalam) dan fundamental (mendasari/pondasi)pada segala sesuatu, setiap saat, di manapun dalam situasi apapun, kondisi apapun dan bagaimanapun.
Di sini sama sekali saya tidak bermaksud meremehkan cinta, akan tetapi justru mencoba mengungkap peranan penting dan mulianya cinta. Yang perlu kita sadari bahwa dalam hidup dan kehidupan ini jika peranan cinta semakin diungkap maka akan semakin kentara betapa banyak dan lengkapnya, karena memang peranan cinta sebanyak dan selengkap ciptaan-Nya. Cinta dicipta untuk memberikan dirinya kepada segalanya tanpa pamrih apapun kecuali mengharap dirinya (cinta) sendiri.
Cinta memang soal rasa, keberadaannya hanya dapat dijamah dengan rasa. Cinta ada bagi orang yang memiliki rasa ‘mencintai’, cinta dapat dirasa/terasa bagi yang ‘mencintai’. Bahwa jika semakin ‘mencintai’ maka semakin besar terasa cinta itu, dan jika semakin banyak ‘mencintai’ maka semakin terasa banyak peranan cinta itu. Mencintai adalah memenuhi keinginan/pamrih cinta itu sendiri, sehingga kenyataan tentang adanya cinta di segala hal terungkap dengan sendirinya. Mencintai adalah merasakan kehadiran dan peranan cinta. Mencintai agar mendapat efek merasakan cinta, sehingga kita mau tidak mau harus sepakat tentang sebuah ungkapan “ Cintailah cinta.” Mencintai di sini memiliki berbagi ragam bentuk; berpasangka baik, memaafkan, menghormati, menyayangi, peduli, berterima kasih, bersyukur, dan sebagainya yang bisa kita simpulkan secara sederhana mencintai adalah suatu rasa yang baik-baik.
Kali ini pertaannya apakah kita mencintai? Apakah kita terbiasa mencintai? Kalaupun belum menjadi kebiasaan, bisakah kita untuk membiasakan mencintai? Bagaimana jika kita memang sulit untuk menciptakan kebiasaan mencitai? Pertanyaan yang lebih menohok dan sangat menuntut kejujuran kita adalah seberapa dominankah kita mencintai? Jangan-jangan kita selama ini terbelenggu dengan ‘mencintai’ pada sesuatu yang khusus saja, di waktu khusus saja, di tempat khusus saja, serta di kondisi dan situasi khusus saja? Bagaimana mungkin hal itu bisa dikatakan bisa mengembalikan cinta pada fitrahnya -cinta ada di semuanya dan hanya bisa dilayani keinginannya dengan ‘mencintai’ saja- sehingga cinta nyaman menemui kita? Bukankah sudah jelas dan berkali-kali ditegaskan bahwa cinta hanya menginginkan dirinya sendiri? Anda ingin cinta? ‘Mencintailah’ maka kehadiran dan keberadaan cinta pastiKau rasa? Bila “mencintai” dijadikan kebisaan yang dominan lalu bagaimana dengan membenci; buruk sangka, menilai buruk,mendengki, medendam, memfitnah, tidak bersyukur, tidak berterimakasih, atau rupa-rupa buruk kebencian lain? Ya tergantung Anda yang mau menentukan pilihan; apakah mau memilih ‘mencintai’ atau ‘membenci’? Yang mana yang bisa membuat Anda bahagia?
Punya minat apa tidak nich untuk ‘mencintai’? Kalau memang berminat ya mari dimulai dari diri sendiri untuk menerima diri sendiri apa adanya; menerima kelebihan dan kekurangan diri sendiri, memaafkan diri sendiri atas semua kesalahan yang pernah kita lakukan baik sengaja maupun tidak disengaja, mencintai diri sendiri tanpa mengajukan syarat apapun, dan perlu selalu diingat bahwa semua itu harus dengan tulus. Kalau tidak mau tulus pada diri sendiri si maunya bagaimana? Masa diri sendiri mau dimodusin? Hehe... Tentu jangan lupa juga niati untuk ibadah karena-Nya semata serta syukuri setiap proses yang dapat kita jalani. 
Ada sebuah konsep dalam dunia Tasawwuf yaitu Takhalli, Tahalli, dan Tajalli. DimanaTakhalli adalah upaya membuang (kebiasaan, akhlak) yang buruk-buruk, Tahalli adalah upaya mengisi dengan (kebiasaan, akhlak) yang baik-baik, sedangkan Tajalli adalah (maka akan) tampak kemumarah/karomah Allah SWT pada diri manusia jika setelah sukses ber-takhalli dan ber-tahalli tersebut. Singkatnya begini sajalah ya, untuk mendasari kita dalam upaya membangun kebiasaan “mencintai” jika menggunakan konsep tasawuf ini ialah:Takhalli-nya adalah kita harus membuang benci dengan berbagai ragam bentuknya dari hati kita,Tahalli-nya adalah kita harus memasukkan cinta dengan berbagai ragam bentuknya ke dalam hati kita, lah setelah kita bisa sukses melaksanakan takhalli dan tahalli-nya baru kita bisa mendapatkan Tajalli-Nya, yaitu berupa (maka akan) tampak kemurahan/karomah berupa kebahagiaan; ketenangan dan kedamaian, keceriaan, rasa syukur yang istiqomah/kontinu atau bahkan sampai rasa syukurnya berkobar-kobar dan lain sebagainya yang dapat disimpulkan secara sederhana bahwa berupa berbagai kemuliaan akan nampak. Maka dari itu supaya kita bisa merasakan hadir dan adanya cinta secara menyeluruh atau katakanlah optimal ya harus menjadikan cinta mendominasi hati kita dan merasakan sepenuh hati dalam “mencintai” diri tanpa syarat apapun. 
Kita hidup didunia ini akan bisa lepas dari Hablumminallah (berinteraksi dengan Allah), hablumminannas (berinteraksi dengan sesama manusia), dan hablumminal’alam (berinteraksi dengan alam) maka mari kita mencoba beranjak menuju pada tahapan pembahasan cinta yang kaitannya dengan tiga  interaksi tersebut.
Dalam kaitannya dengan Hablumminallah, saya percaya bahwa kesadaran yang hakiki adalah ingat/dzikir kepada Allah SWT, tingkat tinggi-tingginya kadar akal akan mencapai posisi puncaknya yaitu ketertundukan pada Sang Haq. Maka pada pencapaian puncak hati dan pikiran manusia memang akan semakin membuktikan ketergantungannya pada Allah SWT, sehingga sesuai arti istilahi Islam dalam kacamata para ‘Arif billah; bahwa Islam adalah totalitas pasrah kepada Allah SWT.
Saya juga tak akan menyangkal bahwa seperti Sabda Nabi Muhammad Saw yang kira-kira artinya; “Kebenaran adalah apa yang hatimu cocok walaupun jutaan orang berfatwa.”Bahwa kebenaran merupakan urusan kecocokan hati manusia, yang memang setiap orang dikaruniai-Nya ilham sehingga memiliki kecocokan terhadap suatu kebenaran dan setiap orang memiliki perspektif/sudut pandang masing-masing terhadap sesuatu untuk ia nilai benar atau tidaknya. Tapi coba kita amati tentang cinta, ia merupakan sesuatu yang amat universal, siapa saja dan agama apa saja mengakui kebenaran cinta, bahkan dalam ajaran agama cinta selalu menempati posisi penting. Ternyata segala kebaiakan dalam ajaranan agama dapat diwujudkan  jika didasari cinta yang tulus oleh penganut sekaligus pengamal agama tersebut, karena diibaratkan koin mata uang logam jika cinta tulus adalah salah satu rupa koin mata uang logam maka kebaikan merupakan salah satu rupa koin mata uang logam yang sebaliknya.
Salah satu firman Allah SWT yang artinya kira-kira: “Siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: ’Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’ Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu  dan antara dia ada permusuhan seolah-olah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar,” (Q.S.Fusshilat,[41]:33-35)
Dalam tahapan upaya meraih kemampuan ‘mencintai’ manusia dituntun-Nya  dengan sifat kebaikan dan hanya orang yang sabar dalam Takhalli-nya yaitu berupaya menolak kejahatan dengan cara lebih baik, dan Tahalli; melalui kesabarannya menyerah diri/totalitas pasrah; menyeru kepada Allah dan berbuat amal saleh (yang totalitas pasrah ini hanya mampu dilakukan dengan kekuatan ‘mencintai’ sepenuh hati dan tulus), dan kemudiaan anugerah Tajalli-Nya; sehingga orang sabar itulah yang dianugerahi sifat-sifat baik yang mana sifat-sifat baik tersebut memang sangat berharga maka yang dianugerahi-Nya sifat kebaikan itupun merupakan karunia bagi manusia yang amat beruntung. Di sini saya kembali menegaskan bahwa ‘mencintai’ merupakan kekuatan pembangun untuk mewujudkan sifat baik pada diri manusia dan ‘membenci’ merupakan kekuatan perusak yang menimbulkan kejahatan masuk pada diri manusia. Mencintai diri sendiri tanpa syarat menjadikan manusia mampu mengenali dirinya sendiri, sedangkan kita tahu bahwa dalam konsep tasawwuf yang namanya mengenali diri sendiri menjadi syarat mutlak untuk bisa mengenali Allah Sang Maha Indah. Jika mencintai diri sendiri tanpa syarat merupakan kekutan pribadi manusia sebagai akar kesadaran akan pentingnya membangun diri dengan sifat kebaikan maka interaksi dengan Allah SWT, membuat manusia akan mendapatkan tuntunan-Nya agar dapat meraih sifat baik yang sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Mau apa tidak nih berupaya meraih  prestasi ‘mencintai diri sendiri tanpa syarat dan tulus karena-Nya’? Sehingga dapat mengenali diri sendiri agar kita memiliki syarat mutlak untuk mengenali Sang Maha Indah, dan dengan kita bisa demikian menjadikan kita tahu cara yang paling tepat yang disukai-Nya untuk kita mendekat pada-Nya. Ya mulailah ‘mencintai’ semuanya.
Soal ketulusan memang sesuatu yang membutuhakan banyak dan lengkapnya pengetahuan serta besarnya pengorbanan dari pelaku nilai ketulusan tersebut, seperti sebuah syair Ibnu Athaillah yang sering digubah oleh Gus Dur dalam membahas ketulusan perjuangan:

Idfin(Sembunyikan)

Sembunyikan wujudmu
Pada tanah yang tak dikenal
Sebab sesuatu yang tumbuh
Dari biji yang tak ditanam
Tak berbuah sempurna

Di sini saya membebaskan pembaca untuk berpikir bebas dalam menafsiri syair di atas.Tergantung ketulusan masing-masing saja ya biar tidak ribut pendapat? Hehe. Yang terakhir tentang hal ini dan penting bahwa dalam segala hal dasari dengan keniatan ibadah, menjaga kiblat batin kita tetap menuju-Nya, selalu memohon ampun akan kesalahan dan kehilafan dan bersyukur atas segala karunia-Nya (termasuk apapun nikmat yang berupa hasil upaya yang telah dilakukan).
Hablumminannas (interaksi sesama manusia) dalam soal cinta si gimana ya? Sudah menjadi kecenderungan insan berketuhanan untuk meraih peringkat prestasi terbaik di hadapan Tuhannya, karena semua amal perbuatan manusia merupakan sarana untuk dapat diterinma-Nya dan bahkan dapat menjadi sarana mendekat (taqorruban ilallah) dengan-Nya dan tentunya dekat dengan-Nya merupakan prestasi istimewa sebagai seorang manusia. Akan tetapi apakah kepentingan meraih semua prestasi penting tersebut dapat diwujudkan oleh manusia cukup dengan keegoisan? Karena ingin menjadi yang terbaik; egois beribadah yang kepentingannya untuk dirinya kepada Tuhannya (‘ubidiyah),egois dengan tidak mementingkan keibadahan yang berkaitan dengan berbuat baik kepada sesama manusia (mu’amalah)? Ternyata tidak dengan egois, justru mereka yang menjadi para pendahulu pelaku ‘seni beribadah’ yaitu ‘ahli tasawwuf’ yang merasai kehidupan dengan bergelimang rasa “mencintai”memiliki pendapat seperti yang disarankan salah satu ‘Arif billah Abi Sa’id Ibn al-Khair:“Tidak ada jalan yang terpendek, terbaik, dan tercepat menuju (mendekat) Dia, selain memberi rasa nyaman pada orang lain.”  Kita tidak bisa mengelak bahwa tidak lain dan tidak bukan jika rasa ‘mencintai-lah’ yang dapat memberikan kanyamanan kepada orang lain, bukan?
Jika melihat negasi/kebalikan dari cinta yaitu kebencian yang menjadi faktor aniaya dan perilaku memutus tali silaturrohmi, kita bisa mengambil pemahaman dan nasehat dari sabda Rasulullah Saw,: “Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan oleh Allah siksaannya bagi pelakunya di dunia dan disimpan sisanya di akhirat dari pada aniaya dan memutus silaturrahim.”Artinya berperilaku yang didasari rasa kebencian adalah hal yang berakibat fatal bagi pelakunya karena siksanya di dunia maupun diakhirat. Waspadalah...waspadalah...! 
Kira-kira sebatas apa kita untuk ‘mencintai’ dalam interaksi sesama manusia? Menjawab pertanyaan tersebut coba kita baca syair di bawah ini: 

Tarjuman al-Asywaq; Senandung Kerinduan

Kemarin aku tak bersahabat
Bila keyakinannya tak sama keyakinanku
Kini jiwaku siap menyambut
Segala fenomena semesta
Padang rumput bagi kawanan rusa
Kuil-kuil bagi para Rahib
Rumah berhala-berhala
Ka’bah orang yang mengelilingi
Lempengan-lempengan Taurat
Lembaran-lembaran suci Al-Qur’an
O, Akulah penganut agama Cinta
Kemanapun gerobag pembawa Cinta bergerak
Aku mengejarnya
Aku pemabuk Cinta-(Mu)

(Ibnu Arobi) 

Syair di atas menurut penafsiran saya adalah ungkapan kesadaran tentang kebenaran cinta yang ada di semua ajaran agama, dan kebenaran cinta dalam segala fenomena alam semesta, maka ‘mencintai’ memang harus kepada siapapun tanpa memandang apa setatus agamanya, sukunya apa, dan tanpa memandang perbedaan apapun yang lain. Artinya ‘mencintai tanpa pandang bulu’. Karena memang siapapun dan apapun hakikatnya berhak dicintai.
Dalam hablumminal’alam (interaksi dengan alam) adalah alam dengan segenap fenomenanya, yang mana diakui atau tidak diakui bahwa kebanyakan dari kita sering memangdangnya sebelah mata. Apalagi mau pake hati atau jiwa, pake mata saja cuma sebelah? Hehe. Padahal Imam Al-Ghazali (dalam dunia keilmuan Barat beliau dikenal dengan nama AL-Gazzel) menyarankan umat Islam untuk memfungsikan hatinya secara maksimal karena intuisi/perasaan (hati atau jiwa) menurut beliau adalah sarana penting meraih kebenaran hakiki yang paling manusia cari. Sebuah sindirin dari beliau tentang jiwa dalam menyikapi alam dan fenomenanya adalah: “Orang yang jiwanya tak tergerak oleh semilir angin, bunga-bunga, dan suara seruling musim semi, adalah dia yang kehilangan jiwanya yang sulit terobati.”
Bagaimana, apakah Anda kesindir nich? Saya juga...hehe. Ya memang demikian adanya, kita memang harus memulai menggunakan rasa ‘mencintai’ untuk menjamah semuanya termasuk alam dan fenomenanya. Agar lebih memantaptapkan kita di bawah ini saya tambahkan syair dari Ibnu Ajibah;

Lihatlah Keindahan-Ku
Tampak pada semua manusia
Air mengalir,
Menembus
Pokok dahan dan ranting
Engkau mendapatinya
Berasal dari satu mata air
Padahal bunga berwarna-warni

Lalu bagaimana membumikan cinta dalam realitas/kenyataan hari ini? Lalu kenapa sih  kok harus hari ini? Begini sahabat, karena hari ini atau lebih tepatnya saat ini adalah saat paling tepat ‘Mencintai cinta’, bukan kemarin atau bukan masa yang telah lalu, atau bukan juga besok atau bukan masa yang akan datang. Sekali lagi saya tegaskan bahwa waktu yang tepat ‘mencintai’ adalah saat ini. Maka jika pembahasan kita yang sebelum-sebelumnya dapat betul-betul dihayati tentunya akan mebentuk afektif (valui; nilai), kognitif (kecerdasan, intelektual) dan psikomotorik (mental dan tekad bergerak) untuk merubah gerak hati, pemikiran, dan fisik kita pada hal-hal yang diisi dengan rasa ‘mencintai’ ini. Tentu proses ini tidak perlu mengganggu rutinitas yang telah ada, kita justru tinggal mengisi setiap aktifitas yang kita miliki dengan rasa ‘mencintai’ sehingga mulai saat ini semua kesan hidup dan kehidupan kita didominasi oleh kesan indah yang disebabkan efek ’mencintai’ yang kita miliki.
Saya memulai pada setiap kesempatan tenang untuk merenung; untuk selalu memaafkan semua kesalahan-kesalahan diri sendiri; baik kesalahan disengaja maupun tidak disengaja, menerima apapun keadaan diri sendiri; kekurangan dan kelebihanku, mensyukuri semua nikmat yang dikaruniai-Nya, ketika bercermin saya melihat mata saya sendiri dan berkata ‘aku mencintaimu tanpa syarat’, aku memaafkan semua dari kesalahan orang-orang terdekatku; Bapakku, Simbok/Ibuku, kakakku, adikku, saudaraku, sahabatku, temanku, kenalanku, sampai semua orang yang memusuhiku; yang buruk sangka, dengki, dendam, memfitnah atau apapun keniatan perbuatan buruk mereka baik mereka sengaja maupun tidak semua aku maafkan setulus hati, aku mencintai sesama dan alam beserta fenomenanya tulus tanpa harus berbalas, dalam setiap doa ritual-ritual keagamaan pribadi saya dengan rasa penuh rendah hati atas keterbatasan diri berdoa:

Ya Allah karuniai aku daya kekuatan luar biasa serta nur (cahaya) dan mahabbah (cinta) yang luar biasa pada seluruh lahir dan batinku,
agar aku mampu selalu bertaubat,
agar aku mampu selalu memperbaiki diri dalam urusan ‘ubudiyah maupun urusan mu’ammalahku,
serta agar aku dapat selalu bersyukur akan segala nikmat-Mu,
Ya Allah karuniai aku daya kekuatan luar biasa dan nur serta mahabbah luar biasa pada seluruh lahir dan batinku,
Agar aku dapat mewujdudkan rasa ‘mencintai’ yang tulus dan ikhlas karena Engkau semata,
Agar aku dapat mewujudkan cita-citaku, mewujudkan harapanku, dan mewujudkan mimpi besarku dalam urusan dunia dan akhiratku Ya Allah. Amin

Saat mau tidur saya selalu mengupayakan untuk berkata pada diri sendiri dengan sepenuh hati:“aku bahagia, penuh kedamaian, penuh katenangan, selalu mencintai diri sendiri tanpa syarat, selalu mencintai sesama dan alam dengan segala fenomenanya dengan tulus, aku ‘mencintai’ tanpa menuntut berbalas, hari besok aku bangun penuh kebaiakan, aku beryukur atas segala karunia-Mu.”  Dan bisa ditambah sesuka hati dengan ucapan yang paling baik yang perlu diucapkan, ...lalu membaca doa tidur... trus tidur dengan tenang dech, hehe.
Saat bangun tidur setelah membaca doa bangun tidur, saya upayakan selalu berbicara pada diri sendiri sepenuh hati:“Hari ini penuh kebaikan bagiku, aku meraih hikmah dengan manfaat yang besar, aku bersyukur atas segala nikmat karunia-Mu”  Dan tentu boleh ditambah dengan ucapan terbaik dan terindah yang kita mau.
Di dalam setiap aktivitas dan dalam kondisi dan situasi apapun agar mampu untuk selalu ‘mencintai’ dengan tulus, hal itu berarti ‘mencintai cinta’ yang memang cinta selalu hadir dan ada di segala sesuatu dan tidak pernah absen Bro..., dan ‘mencintai’ merupakan perasaan tulus untuk mengakui dan menghargai peranan cinta  sehingga yang demikian menyebabkan kita hidup dalam ke-berlimpahruahan kemurahan cinta. Maka ‘Cintailah cinta’ sebagaimana fitrah cinta yang memberi segalanya dan hanya mengharap dirinya (cinta) sendiri. Supaya cinta terpenuhi harapanya ya balas cinta dengan dirinya sendiri dengan ‘mencintai’ mulai saat ini dan sampai kapanpun, dimulai dari mencintai kepada diri sendiri sampai kepada siapapun dan apapapun, mencintai mulai dari sini sampai di manapun, mencintai mulai dari kondisi dan situasi seperti ini sampai kondisi dan situasi seperti apapun, dan seterusnya semampu jangkauan masing-masing. Hasil maqosidanaa. Amin


Tidak ada komentar:

Posting Komentar